Tanya Jawab Berkenaan dengan Kurban Menurut Madzhab Syafi’i
Tanya 1: Apakah hukum melaksanakan kurban?
Jawab: Menurut Madzhab Syafi’i, hukum melaksanakan kurban adalah sunnah muakkadah, yaitu sunnah yang sangat dianjurkan bagi yang mampu melaksanakannya. Tidak wajib, tetapi sangat dianjurkan untuk dilaksanakan oleh setiap Muslim yang memiliki kemampuan.
Dalil:
- Al-Qur’an: “Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 2). Ayat ini menjadi landasan bagi pelaksanaan kurban meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan hukumnya.
- Hadis: “Barangsiapa yang memiliki kemampuan dan tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati tempat salat kami.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah). Hadis ini menunjukkan pentingnya berkurban bagi yang mampu.
Referensi Kitab: Kitab “Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab” oleh Imam Nawawi, menyatakan bahwa kurban adalah sunnah muakkadah bagi yang mampu. (Al-Majmu’, Juz 8, Hal. 385)
Tanya 2: Apa syarat sah kurban dalam Madzhab Syafi’i?
Jawab:
- Muslim: Pelaksana kurban harus seorang Muslim.
- Baligh dan Berakal: Harus sudah baligh dan berakal.
- Mampu: Memiliki kemampuan finansial untuk membeli hewan kurban.
- Waktu: Dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan, yaitu setelah salat Idul Adha sampai hari terakhir Tasyriq (tanggal 13 Dzulhijjah).
- Jenis Hewan: Hewan yang dikurbankan harus dari jenis ternak tertentu yaitu kambing, sapi, atau unta, dan memenuhi syarat umur minimal.
Dalil:
- Al-Qur’an: “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dirizkikan Allah kepada mereka.” (QS. Al-Hajj: 34).
- Hadis: “Rasulullah SAW berkurban dengan dua ekor kambing gibas yang gemuk dan bertanduk, beliau menyembelih keduanya dengan tangan beliau sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Referensi Kitab: Kitab “Mughni al-Muhtaj” oleh Imam Khatib Asy-Syarbini, yang membahas syarat-syarat hewan kurban yang sah menurut Madzhab Syafi’i. (Mughni al-Muhtaj, Juz 4, Hal. 282)
Tanya 3: Bagaimana cara membagikan daging kurban menurut Madzhab Syafi’i?
Jawab: Daging kurban dibagi menjadi tiga bagian:
- Sepertiga untuk diri sendiri dan keluarga.
- Sepertiga untuk disedekahkan kepada fakir miskin.
- Sepertiga untuk dihadiahkan.
Dalil:
- Al-Qur’an: “Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al-Hajj: 28).
- Hadis: “Rasulullah SAW memerintahkan untuk makan dari daging kurban dan menyimpannya serta mensedekahkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Referensi Kitab: Kitab “Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab” oleh Imam Nawawi, yang menjelaskan cara pembagian daging kurban secara detail. (Al-Majmu’, Juz 8, Hal. 423)
Tanya 4: Apakah boleh memotong kuku atau rambut sebelum melaksanakan kurban?
Jawab: Menurut Madzhab Syafi’i, disunnahkan bagi orang yang berniat kurban untuk tidak memotong kuku dan rambut mulai dari awal Dzulhijjah hingga hewan kurban disembelih.
Dalil:
- Hadis: “Apabila masuk bulan Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian ingin berkurban, maka hendaklah ia menahan diri dari (memotong) rambut dan kukunya.” (HR. Muslim).
Referensi Kitab: Kitab “Mughni al-Muhtaj” oleh Imam Khatib Asy-Syarbini, yang menjelaskan anjuran untuk tidak memotong rambut dan kuku bagi orang yang berniat kurban. (Mughni al-Muhtaj, Juz 4, Hal. 287)
Tanya 5: Kapan hukum kurban menjadi wajib dalam Madzhab Syafi’i?
Jawab: Dalam Madzhab Syafi’i, hukum kurban bisa menjadi wajib jika:
- 1.seseorang telah bernazar untuk melaksanakan kurban. Nazar adalah janji yang diucapkan oleh seorang Muslim untuk melakukan sesuatu yang tidak wajib dilakukan, namun menjadi wajib karena dia telah mengikatkan dirinya dengan janji tersebut. Oleh karena itu, jika seseorang bernazar untuk berkurban, maka dia wajib melaksanakannya.
- Demikian juga , jika seseorang mengucapkan kalimat “Saya akan menjadikannya sebagai hewan kurban” (جعلتها أضحية) dengan niat yang kuat, maka hal ini dianggap sebagai nazar, sehingga pelaksanaannya menjadi wajib.
Dalil:
- Al-Qur’an: “Dan mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.” (QS. Al-Insan: 7).
- Hadis: “Barangsiapa yang bernazar untuk mentaati Allah, hendaklah ia mentaati-Nya.” (HR. Bukhari).
Referensi Kitab: Kitab “Mughni al-Muhtaj” oleh Imam Khatib Asy-Syarbini, yang menjelaskan bahwa nazar membuat suatu amalan yang sunnah menjadi wajib dilaksanakan. Juga dijelaskan bahwa perkataan “saya akan menjadikannya sebagai hewan kurban” dapat dianggap sebagai nazar, sehingga pelaksanaannya menjadi wajib. (Mughni al-Muhtaj, Juz 4, Hal. 288)
Tanya 6: Untuk berapa orang masing-masing hewan kurban dalam Madzhab Syafi’i? Dan bagaimana hukum berkurban satu kambing untuk satu keluarga?
Jawab:
- Kambing: Satu ekor kambing cukup untuk satu orang. Namun, menurut Madzhab Syafi’i, satu ekor kambing yang dikurbankan oleh satu orang dapat diniatkan untuk seluruh anggota keluarganya, dan pahalanya akan mencakup mereka semua.
- Sapi dan Unta: Satu ekor sapi atau unta bisa mencukupi untuk tujuh orang. Artinya, tujuh orang bisa patungan untuk berkurban satu ekor sapi atau unta.
Dalil:
- Hadis: “Dahulu Nabi SAW berkurban dengan dua ekor kambing gibas yang bertanduk dan beliau menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri sambil membaca bismillah dan bertakbir.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menunjukkan bahwa kurban kambing dilakukan untuk satu orang.
- Hadis: “Kami keluar bersama Rasulullah SAW dalam keadaan ihram, lalu beliau memerintahkan kami untuk berkurban satu ekor sapi untuk tujuh orang dan satu ekor unta untuk tujuh orang.” (HR. Muslim).
Referensi Kitab:
- Kitab “Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab” oleh Imam Nawawi, yang menjelaskan bahwa satu ekor kambing cukup untuk satu orang tetapi pahalanya dapat mencakup anggota keluarga. (Al-Majmu’, Juz 8, Hal. 392)
- Kitab “Mughni al-Muhtaj” oleh Imam Khatib Asy-Syarbini, yang menjelaskan bahwa satu ekor sapi atau unta dapat mencukupi untuk tujuh orang. (Mughni al-Muhtaj, Juz 4, Hal. 289)
Tanya 7: Apa hukum berkurban bagi seseorang yang tidak mampu secara finansial?
Jawab: Bagi seseorang yang tidak mampu secara finansial, berkurban tidak diwajibkan dan tidak disunnahkan. Islam memberikan kelonggaran kepada mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk membeli hewan kurban. Kurban hanya dianjurkan bagi yang mampu.
Dalil:
- Al-Qur’an: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286).
- Hadis: “Barangsiapa yang memiliki kemampuan dan tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati tempat salat kami.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah), menunjukkan bahwa kewajiban ini hanya bagi yang mampu.
Referensi Kitab: Kitab “Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab” oleh Imam Nawawi, yang menekankan bahwa kemampuan finansial adalah syarat untuk dianjurkannya kurban. (Al-Majmu’, Juz 8, Hal. 385)
Tanya 8: Apakah boleh berkurban dengan hewan yang cacat?
Jawab: Menurut Madzhab Syafi’i, tidak sah berkurban dengan hewan yang cacat. Hewan kurban harus sehat dan tidak memiliki cacat yang jelas seperti buta sebelah, pincang, atau sakit yang nyata.
Dalil:
- Hadis: “Ada empat jenis hewan yang tidak boleh dijadikan kurban: hewan yang jelas butanya, jelas sakitnya, jelas pincangnya, dan yang sangat kurus hingga tidak memiliki sumsum.” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i).
Referensi Kitab: Kitab “Mughni al-Muhtaj” oleh Imam Khatib Asy-Syarbini, yang menjelaskan syarat kesehatan hewan kurban. (Mughni al-Muhtaj, Juz 4, Hal. 283)
Tanya 9: Bagaimana tata cara menyembelih hewan kurban?
Jawab: Tata cara menyembelih hewan kurban meliputi:
- Menghadap Kiblat: Hewan diarahkan ke kiblat.
- Membaca Bismillah dan Takbir: Saat menyembelih, disunnahkan membaca “Bismillah, Allahu Akbar.”
- Menggunakan Pisau yang Tajam: Pisau harus tajam agar proses penyembelihan cepat dan tidak menyiksa hewan.
- Memotong Tiga Saluran: Memotong saluran pernapasan, makanan, dan dua urat nadi di leher.
Dalil:
- Hadis: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat baik kepada segala sesuatu. Maka apabila kalian membunuh, bunuhlah dengan cara yang baik, dan apabila kalian menyembelih, sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah salah seorang di antara kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan hewan sembelihannya.” (HR. Muslim).
Referensi Kitab: Kitab “Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab” oleh Imam Nawawi, yang menjelaskan tata cara penyembelihan secara rinci. (Al-Majmu’, Juz 8, Hal. 422)
Tanya 10: Apakah boleh memakan daging kurban sendiri tanpa memberikannya kepada orang lain?
Jawab: Menurut Madzhab Syafi’i, disunnahkan bagi orang yang berkurban untuk memakan sebagian daging kurbannya, tetapi juga wajib memberikan sebagian kepada orang lain, terutama fakir miskin. Disarankan untuk membagi daging menjadi tiga bagian: sepertiga untuk keluarga, sepertiga untuk kerabat dan tetangga, sepertiga untuk fakir miskin.
Dalil:
- Al-Qur’an: “Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al-Hajj: 28).
Referensi Kitab: Kitab “Mughni al-Muhtaj” oleh Imam Khatib Asy-Syarbini, yang menjelaskan pembagian daging kurban. (Mughni al-Muhtaj, Juz 4, Hal. 286)
Tanya 11: Bagaimana hukum menjual bagian dari hewan kurban, seperti kulit atau tanduknya?
Jawab: Dalam Madzhab Syafi’i, menjual bagian dari hewan kurban seperti kulit, tanduk, atau dagingnya adalah tidak diperbolehkan. Semua bagian hewan kurban harus disedekahkan atau dimanfaatkan tanpa diperjualbelikan. Tapi diperbolehkan bagi yang menerimanya dalam bentuk sedekah
Dalil:
- Hadis: “Barangsiapa menjual kulit hewan kurbannya, maka tidak ada kurban baginya.” (HR. Hakim dan Baihaqi).
Referensi Kitab: Kitab “Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab” oleh Imam Nawawi, yang menegaskan larangan menjual bagian dari hewan kurban. (Al-Majmu’, Juz 8, Hal. 423)
Tanya 12: Apakah sah berkurban dengan uang pinjaman?
Jawab: Menurut Madzhab Syafi’i, sah berkurban dengan uang pinjaman jika orang tersebut yakin mampu melunasinya. Namun, jika tidak mampu melunasi hutangnya, sebaiknya tidak berkurban karena bisa memberatkan dirinya sendiri.
Dalil:
- Al-Qur’an: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286).
Referensi Kitab: Kitab “Mughni al-Muhtaj” oleh Imam Khatib Asy-Syarbini, yang menjelaskan ketentuan mengenai berkurban dengan uang pinjaman. (Mughni al-Muhtaj, Juz 4, Hal. 284)
Tanya 13: Apakah boleh berkurban dengan hewan betina yang sedang hamil?
Jawab: Menurut Madzhab Syafi’i, boleh berkurban dengan hewan betina yang sedang hamil asalkan hewan tersebut memenuhi syarat-syarat sah kurban lainnya, seperti tidak cacat dan cukup umur.
Dalil:
- Hadis: Tidak ada hadis yang secara spesifik melarang penggunaan hewan betina yang sedang hamil untuk kurban, asalkan memenuhi syarat-syarat sah lainnya.
Referensi Kitab: Kitab “Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab” oleh Imam Nawawi, yang menyatakan bahwa hewan betina yang sedang hamil tetap sah digunakan sebagai hewan kurban. (Al-Majmu’, Juz 8, Hal. 392)
Tanya 14: Bagaimana hukum kurban bagi seorang musafir?
Jawab: Menurut Madzhab Syafi’i, hukum kurban bagi seorang musafir adalah sama dengan orang yang mukim. Jika seorang musafir memiliki kemampuan untuk berkurban, maka dianjurkan untuk melaksanakannya.
Dalil:
- Hadis: “Dahulu Nabi SAW berkurban dengan dua ekor kambing gibas yang bertanduk dan beliau menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri sambil membaca bismillah dan bertakbir.” (HR. Bukhari dan Muslim). Nabi SAW juga berkurban dalam keadaan musafir.
Referensi Kitab: Kitab “Mughni al-Muhtaj” oleh Imam Khatib Asy-Syarbini, yang menyatakan bahwa hukum kurban berlaku bagi musafir dan mukim. (Mughni al-Muhtaj, Juz 4, Hal. 287)
Tanya 15: Apakah boleh berkurban atas nama orang yang sudah meninggal?
Jawab: Menurut Madzhab Syafi’i, boleh berkurban atas nama orang yang sudah meninggal jika ada wasiat dari yang bersangkutan atau jika kurban tersebut diniatkan sebagai sedekah jariyah untuknya.
Dalil:
- Hadis: “Apabila seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang sholeh.” (HR. Muslim). Berkurban atas nama orang yang sudah meninggal bisa termasuk dalam sedekah jariyah.
Referensi Kitab: Kitab “Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab” oleh Imam Nawawi, yang membahas kurban atas nama orang yang sudah meninggal. (Al-Majmu’, Juz 8, Hal. 395)