Hukum mengamalkan hadits dhaif
Hadits dhaif ialah hadits yang tidak memenuhi persyaratan hadits shahih dan hasan. Namun hadits dhaif tidak sama dengan hadits maudhu’, atau palsu. Lantas bagaimana hukum beramal dengan hadits dhaif?
Hadist dhoif jika berkaitan dengan hukum ataupun akidah maka tidak boleh untuk diamalkan, adapun jika berkaitan dengan fadhilah suatu amalan, motivasi, ataupun ancaman maka boleh untuk diamalkan dengan beberapa syarat:
- Tidak termasuk kategori hadist yang sangat dhoif
- Adanya dalil yang bersifat umum berkaitan dengan hadits tersebut, seperti: hadits dhoif tentang sholat dua rakaat setelah matahari tergelincir, maka hadits ini boleh diamalkan karena masuk ke dalam dari umum yaitu hadits Nabi: “Sholat adalah sebaik-baik amalan, maka barang siapa yang mampu untuk memperbanyak hendaknya ia melakukannya.”
- Ketika mengamalkannya, tidak meyakini bahwa itu diriwayatkan dari Nabi, akan tetapi meniatkan untuk kehati-hatian.
Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar mengatakan:
“Para ulama menyatakan bahwa hukumnya boleh dan sunnah untuk beramal dengan hadits dha’if dalam fadhilah amal, motivasi, dan ancaman selama hadis tersebut bukan hadis palsu.”
Namun, dalam hal-hal yang berkaitan dengan hukum seperti halal, haram, jual-beli, nikah, dan talak, serta hal-hal lainnya, tidak boleh beramal kecuali dengan hadits shahih atau hasan. Namun, dalam beberapa kasus, seperti hadis dha’if yang menyinggung tentang kemakruhan beberapa jenis jual beli atau pernikahan, dianjurkan untuk menjauhinya sebagai bentuk kehati-hatian, meskipun tidak wajib.
Referensi:
- Al-Adzkar (Hal.36)
- Ad-Durr Al-Mandhuud (Hal.259)
- Syarh Al-Arbain An-Nawawiyyah Ibnu Daqiq Al-‘Id (1/20)