Kelembutan Allah dan Hikmah di Balik Dosa
Dalam perjalanan hidup, manusia tak luput dari kesalahan dan dosa. Setiap individu, betapapun salehnya, pasti pernah terpeleset dalam kelalaian atau melakukan dosa. Namun, di balik setiap dosa yang dilakukan, terdapat hikmah besar yang mungkin sering kali terlewatkan oleh kita.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan segala kebijaksanaan-Nya, membiarkan kelalaian dan dosa hadir dalam kehidupan hamba-Nya bukan tanpa alasan. Ada pelajaran berharga dan tujuan mulia yang ingin disampaikan oleh-Nya melalui setiap kesalahan yang kita perbuat.
Kesalahan dan dosa bukanlah akhir dari segalanya. Melalui pengakuan dan penyesalan, kita dapat mendekatkan diri kepada Allah dan merasakan kasih sayang-Nya yang tak terbatas. Allah, dengan segala sifat Maha Pengampun dan Maha Pemaaf, selalu membuka pintu ampunan bagi mereka yang mau bertaubat dan kembali ke jalan-Nya.
Bahkan, dalam hadits disebutkan bahwa jika manusia tidak berdosa, Allah akan mendatangkan kaum lain yang berdosa, lalu mereka memohon ampun, agar Dia bisa memberikan pengampunan-Nya.
Permohonan kepada Allah
Hakikat Dosa dan Pengampunan
إن كنتُ لا أَصْلُحُ للقُرْبِ * فشأنُكُم صَفْحَ عَنِ الذَّنْبِ
Jika aku tak layak untuk dekat dengan-Mu, Maka Engkau-lah yang memaafkan dosa hamba-Mu.
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Jika kalian tidak berdosa, Allah akan mendatangkan kaum lain yang berdosa, lalu mereka memohon ampun, dan Allah mengampuni mereka.” (Hadits riwayat Muslim)
Abu Hurairah رضي الله عنه meriwayatkan bahwa Nabi bersabda: “Jika kalian tidak berdosa, Allah akan menggantikan kalian dengan kaum yang berdosa, kemudian mereka memohon ampun kepada-Nya, dan Dia mengampuni mereka.”
Abu Ayyub رضي الله عنه meriwayatkan bahwa Nabi bersabda: “Jika kalian tidak berdosa, Allah akan menciptakan makhluk lain yang berdosa, kemudian mereka memohon ampun, dan Dia mengampuni mereka.” (Hadits riwayat Muslim)
Hikmah di Balik Dosa
Tujuan dari hadits-hadits tersebut adalah menunjukkan bahwa Allah memiliki hikmah dalam membiarkan kelalaian masuk ke hati hamba-Nya, sehingga mereka melakukan dosa. Jika mereka terus-menerus dalam kesadaran penuh, mereka tidak akan berdosa. Ada dua manfaat besar dari terjadinya dosa:
- Pengakuan dan Penyesalan
Para pendosa akan mengakui dosa-dosa mereka dan merasa malu atas kelalaian mereka terhadap Tuhannya. Ini lebih disukai Allah daripada banyaknya ibadah, karena ibadah yang terus-menerus bisa menimbulkan rasa bangga. Dalam sebuah hadits disebutkan: “Jika kalian tidak berdosa, aku khawatir kalian akan terkena penyakit yang lebih parah, yaitu berbangga diri (ujub).” - Pengampunan dari Allah
Allah mencintai untuk mengampuni dan memaafkan. Nama-Nya adalah Al-Ghaffar (Maha Pengampun), Al-Afuww (Maha Pemaaf), dan At-Tawwab (Maha Penerima Taubat). Jika semua makhluk bebas dari dosa, kepada siapa Allah akan memberikan pengampunan?
Beberapa ulama salaf berkata: “Hal pertama yang Allah ciptakan adalah pena, lalu Dia menulis bahwa Dia adalah At-Tawwab (Maha Penerima Taubat) yang menerima taubat orang yang bertaubat.”
Abu Jald berkata: “Seorang yang taat kepada Allah berdoa: ‘Ya Allah, perbaikilah diriku dengan kebaikan yang tidak akan membawa kerusakan setelahnya.’ Lalu Allah mewahyukan: ‘Hamba-hamba-Ku yang beriman semuanya memohon hal yang sama. Jika Aku memperbaiki mereka semua, kepada siapa Aku akan memberi kemurahan dan pengampunan-Ku?'”
Beberapa ulama salaf berkata: “Jika aku tahu amalan yang paling disukai Allah, aku akan bersungguh-sungguh melakukannya.” Kemudian dia bermimpi mendengar seseorang berkata: “Engkau menginginkan yang mustahil. Allah mencintai untuk mengampuni.”
Yahya bin Mu’adh berkata: “Jika pengampunan bukanlah hal yang paling disukai Allah, Dia tidak akan menguji makhluk-Nya yang paling mulia dengan dosa.”
Penutup
Ya Rabb, Engkau adalah harapanku. Pada-Mu aku menggantungkan harapanku. Ya Rabb, ampunilah dosa-dosaku, berilah aku kesehatan, dan maafkanlah aku. Pengampunan dari-Mu, Ilahi, sedangkan dosa datang dariku. Harapan kepada-Mu begitu indah, maka kabulkanlah harapanku.
Disadur dari Lathaiful Ma’arif (hal. 56-59)